4.23.2012

WAZIM


Dulu, ketika kami masih tinggal di Jogja, suami sering pijat ke seorang tukang pijat tuna netra yang berpraktek di sekitaran alun-alun Keraton Yogya. Tukang pijat ini adalah langganan kedua mertua saya. Pada hari-hari yang lain, ketika beliau sedang tidak berpraktek di tempat itu, kami juga bisa datang ke rumahnya. Waktu itu mungkin beliau berusia sekitar lima puluhan sampai enam puluhan tahun (saya tidak tahu persis, karena saya orang yang sangat payah dalam menebak usia seseorang). Kami memanggilnya Pak Wazim, nama yang terdengar cukup unik di telinga saya.

Pak Wazim tinggal di sebuah rumah kecil yang bersih dan rapi, bersama istrinya yang juga seorang tuna netra. Ketiga orang anaknya tinggal di kota yang berbeda, karena pekerjaan mengharuskan mereka tinggal jauh dari kedua orang tua. Anak-anak mereka cukup berhasil dalam hidupnya, mengingat mereka lahir dari keluarga sederhana, dari pasangan tuna netra pula. Saya tidak ingat mereka bekerja sebagai apa, tetapi dari foto-foto yang terpasang di dinding, sepertinya ekonomi mereka cukup bagus. Saya hanya ingat satu dari mereka bekerja di salah satu bank swasta.

Sambil memijat, Pak Wazim memang suka bercerita. Beliau tidak hanya bercerita tentang perjalanan hidupnya, anak-anaknya, dan berita yang lagi ramai dibicarakan, tetapi juga perkembangan politik dalam negeri kita. Sampai-sampai almarhumah ibu mertua saya heran dan berceletuk,”Pak, orang buta kok tahu segala-gala!” Ya, Pak Wazim memang suka membaca buku (dengan huruf Braille tentunya) dan mendengarkan berita di radio.

Tentang radio, ada cerita menarik sekaligus memprihatinkan. Suatu hari ada dua orang pria datang ke rumah Pak Wazim untuk pijat. Ketika salah satu dari mereka sedang dipijat di balik tirai yang membatasi ruang tamu, yang seorang lagi kabur membawa radio tape milik Pak Wazim, yang kebetulan sedang tidak dibunyikan. Sudah begitu, ketika yang satunya selesai dipijat, alih-alih membayar jasa dan mengucapkan terima kasih, eeeh ... dia malah kabur juga!  Sungguh orang-orang yang tidak punya nurani! Tidak punya rasa malu! Tega-teganya mereka berbuat seperti itu pada seseorang yang tidak mengetahui bahwa ia sudah didholimi, sementara orang yang didholimi tanpa prasangka apapun tetap dengan sunguh-sungguh menyelesaikan pekerjaannya, demi mencari nafkah buat keluarganya.    

Saya paling suka cerita Pak Wazim tentang perjalanan hidupnya yang pahit dan penuh liku. Bukan suka dengan kepahitan hidupnya, tetapi suka dengan hikmah dan semangat juangnya yang begitu inspiratif, meskipun itu datang dari seorang tuna netra.

Wazim kecil adalah seorang anak yatim, yang kemudian oleh ibunya dititipkan kepada budenya. Budenya pun bukanlah orang yang kaya, sehingga untuk bisa hidup, Wazim kecil harus membantu pekerjaannya. Dia terlahir dengan kedua mata yang sehat seperti anak-anak lainnya. Dia bisa menikmati senyum ibunya, indahnya warna-warna bunga, dan juga cerahnya hari. Tetapi ketika remaja, entah karena apa, perlahan-lahan keindahan warna-warna mulai berubah menjadi kelabu semua. Cerahnya hari perlahan-lahan juga mulai meredup dan berganti warna menjadi hitam pekat selamanya.  

“Bersyukurlah, Mas, karena orang tua memberikan modal yaitu pendidikan dan modal untuk usaha, berapapun besarnya,” kata Pak Wazim sembari terus memijat dengan sedikit olesan bedak talk. “Kalau saya, saya tidak ada yang memodali, modal saya hanya dari Allah. Tetapi saya sangat bersyukur, saya punya istri dan anak-anak yang baik, saya bisa hidup meskipun sederhana, saya bisa membeli rumah meskipun kecil, dan saya masih bisa bekerja sampai saat ini.”

Subhanallah! Saya terpana.

Ketika saya minta ijin untuk ke kamar kecil, saya lebih terpana lagi. Semua fasilitas komplit ada di dalam rumah kecil itu. Ada kipas angin, kulkas, kompor gas, telepon, dan semua yang biasa ada di rumah kita. Yang tidak ada hanya 1, televisi! Saya tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa menggunakan barang-barang itu? Ternyata setiap hari Bu Wazim berbelanja dan  memasak! Bahkan saya saja, yang nota bene sehat kedua mata, tidak bisa seperti itu. Allah memang Maha Adil.

Suatu sore menjelang maghrib, saya dan suami berkunjung ke rumah Pak Wazim. Kami ragu mengetuk pintu rumahnya, karena sepertinya mereka sedang tidak ada di rumah. Rumahnya gelap, lampu teras pun tidak menyala. Ketika kami bersiap mau pergi, terdengar pintu dibuka dari dalam.

“Ma’af, Mas, kami kan tidak butuh lampu,” Pak Wazim muncul dengan senyum lebar.

Hehehe ... iya juga, ya?

Sekarang, sudah sekitar sebelas tahun ini kami tidak mengetahui kabar beliau. Semoga beliau dan istrinya dilimpahi kesehatan dan keberkahan, juga umur yang panjang. Amin.  

4 komentar:

  1. Wkwkwk...bener juga ya jd irit listrik...
    Main2 kerumahku juga mb: www.sipleki.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, soalnya siang sama malam sama saja bagi mereka ...

      Hapus